Baru kemarin, 3 April 2019, kita, umat Muslim di seantero Nusantara tengah berbahagia, sebab kedatangan momen bersejarah Isra Mikraj, 22 Rajab 1440 Hijriyah. Peringatan demi peringatan, pengajian demi pengajian digelar di mana-mana. Peringatan dan pengajian yang setiap tahun terus diulang-ulang. Perjalanan spiritual Nabi Muhammad saw., pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sampai ke Sidratul Muntaha. Sebagaimana perjalanan spiritual, tanpa keimanan dan keilmuan, Isra Mikraj--terutama Mikraj--bisa jadi tidak terjangkau logika manusia.
Lepas dari itu bahwa, dalam momen bersejarah ini, Isra Mikraj membawa amanah mulia Allah untuk Nabi saw., dan umatnya yakni amanah shalat wajib lima waktu. Ibadah ritual yang masuk dalam salah satu rukun Islam sebagai tiang agama. Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa shalat menempati posisi yang sangat penting dan menentukan. Bahkan juga dikatakan dalam salah satu riwayat, bahwa shalat menjadi penentu segala amal manusia. Dengan kata lain, jika shalat manusia baik, maka baik pula keselurahan amalnya. Lalu bagaimana sebetulnya urgensi hakikat shalat untuk kehidupan pribadi dan sosial masyarakat?
Shalat juga ditegaskan oleh Al-Qur'an sebagai ibadah yang akan mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Ini berarti bahwa shalat yang kita dirikan harus bermanfaat. Jangan sampai kuantitas shalat kita tidak berbanding lurus dengan kualitas shalatnya. Agar jangan sampai shalat hanya sekadar menggugurkan kewajiban, hanya sebatas gerak badan. Shalat yang tidak membuat kita berbaik sangka dan berbaik perilaku. Kita harus membuktikan bahwa baiknya shalat itu terbukti dengan baiknya perilaku, orang dengan karakter jujur dan peduli. Semakin shalat seseorang akan semakin berani untuk jujur dan peduli terhadap diri sendiri, orang lain dan terutama Allah Swt.
Jangan sampai shalatnya kita setiap waktu, tidak membuat kita malu kepada Allah. Kita juga harus malu kalau sampai hidup berlimpah harta tetapi tidak peduli kepada sesama. Hidup dengan hedonis dan individualistis. Kehidupan masyarakat tak kunjung membaik, semakin semrawut, penuh konflik dan kesalahpahaman. Apalagi sampai kemudian kondisi masyarakat dipenuhi dengan ghibah, hoaks dan fitnah. Sampai di sini, di mana korelasinya antara shalat kita dengan perilaku dan kualitas sosial yang harmonis dalam kehidupan masyarakat? Shalat yang justru begitu berjarak sangat jauh sekali dengan konteks sosial masyarakat.
Wallahu a'lam